Adat pernikahan Jawa, tampak pada foto pengantin pernikahan mengenakan pakaian adat Jawa.
Penulis ada pada resepsi pernikahan tersebut tepatnya berdiri di sebelah kanan pengantin urutan yang ke 4 , kebetulan pengantin laki laki adalah teman/abg saya.
Tempat pernikahan : Jogjakarta 22 juni 2014
UPACARA PERNIKAHAN ADAT JAWA
Upacara perkawinan adat pengantin Jawa sebenarnya bersumber dari
tradisi keraton. Bersamaan dengan itu lahir pula seni tata rias pengantin dan
model busana pengantin yang aneka ragam. Seiring perkembangan zaman, adat
istiadat perkawinan tersebut, lambat laun bergerak keluar tembok keraton.
Sekalipun sudah dianggap milik masyarakat, tapi masih banyak calon
pengantin yang ragu-ragu memakai busana pengantin basahan (bahu terbuka) yang
konon hanya diperkenankan bagi mereka yang berkerabat dengan keraton.
Pada dasarnya banyak persamaan yang menyangkut upacara perkawinan
maupun tata rias serta busana kebesaran yang dipakai keraton Yogyakarta,
Surakarta dan mengkunegara. Perbedaan yang ada bisa dikatakan merupakan
identitas masing-masing yang menonjolkan ciri khusus, dan itu justru memperkaya
khasanah budaya bangsa kita. Bertolak dari kenyataan tersebut, sudah sering
diselenggarakan sarahsehan yang berkenan dengan adat istiadat perkawinan oleh
kerabat keraton, agar masyarakat merasa mantap mendandani calon pengantin
dengan gaya keraton, sekaligus agar tidak terjadi kekeliruan dalam
penerapannya.
Rangkaian
upacara adat Pengantin Jawa sebagai berikut :
Serah-Serahan
Setelah dicapai kata sepakat oleh kedua belah pihak orang tua tentang
perjodohan putra-putrinya, maka dilakukanlah 'serah-serahan' atau disebut juga
'pasoj tukon'. Dalam kesempatan ini pihak keluarga calon mempelai putra
menyerahkan barang-barang tertntu kepada calon mempelai putri sebagai 'peningset',
artinya tanda pengikat. Umumnya berupa pakaian lengkap, sejumlah uang, dan
adakalanya disertai cincin emas buat keperluan 'tukar cincin'.
Pingitan
Saat-saat menjelang perkawinan, bagi calon mempelai putri dilakukan
'pingitan' atau 'sengkeran' selama lima hari, yang ada pada perkembangan
selanjutnya hanya cukup tiga hari saja. Selama itu calon mempelai putri
dilarang keluar rumah dan tidak boleh bertemu dengan calon mempelai putra. Seluruh tubuh pengantin putri
dilulur dengan ramu-ramuan, dan dianjurkan pula berpuasa. Tujuannya agar pada
saat jadi pengantin nanti, mempelai putri tampil cantik sehingga membuat
pangling orang yang menyaksikannya.
Pasang Bleketepe/ Tarup
Upacara pasang 'tarup' diawalkan dengan pemasangan 'bleketepe' (anyaman
daun kelapa) yang dilakukan oleh orangtua calon mempelai putri, yang ditandai
pula dengan pengadaan sesajen. Tarup
adalah bangunan darurat yang dipakai selama upacara berlangsung. Pemasangannya
memiliki persyaratan khusus yang mengandung makna religius, agar rangkaian
upacara berlangsung dengan selamat tanpa adanya hambatan. Hiasan tarup, terdiri
dari daun-daunan dan buah-buahan yang disebut 'tetuwuhan' yang memiliki nilai-nilai simbolik.
Siraman
Makna upacara ini, secara simbolis merupakan persiapan dan pembersihan
diri lahir batin kedua calon mempelai yang dilakukan dirumah masing-masing.
Juga merupakan media permohonan doa restu dari para pinisepuh. Peralatan yang
dibutuhkan, kembang setaman, gayung, air yang diambil dari 7 sumur, kendi dan
bokor.
Orangtua calon mempelai putri mengambil air dari 7 sumur, lalu dituangkan
ke wadah kembang setaman. Orangtua calon mempelai putri mengambil air 7 gayung
untuk diserahkan kepada panitia yang akan mengantarnya ke kediaman calon
mempelai putra. Upacara ini dimulai dengan sungkeman kepada orangtua calon
pengantin serta para pini sepuh.
Siraman dilakukan pertama kali oleh orangtua calon pengantin,
dilanjutkan oleh para pinih sepuh, dan terakhir oleh ibu calon mempelai
mempelai putri, menggunakan kendi yang kenudian dipecahkan ke lantai sembari
mengucapkan, "Saiki wis pecah pamore" ("Sekarang sudah pecah
pamornya").
Paes/ Ngerik
Setelah siraman, dilakukan upacara ini, yakni sebagai lambang upaya
memperindah diri secara lahir dan batin. 'Paes' (Rias)nya baru pada tahap
'ngalub-alubi' (pendahuluan), untuk memudahkan paes selengkapnya pada saat akan
dilaksanakan temu. Ini dilakukan dikamar calon mempelai putri, ditunggui oleh
para ibu pini sepuh.
Sembari menyaksikan paes, para ibu memberikan restu serta memanjatkan
do'a agar dalam upacara pernikahan nanti berjalan lancar dan khidmat. Dan
semoga kedua mempelai nanti saat berkeluarga dan menjalani kehidupan dapat
rukun 'mimi lan mintuno', dilimpahi keturunan dan rezeki.
Dodol Dawet
Prosesi ini melambangkan agar dalam upacara pernikahan yang akan dilangsungkan, diknjungi
para tamu yang melimpah bagai cendol dawet yang laris terjual. dalam upacara
ini, ibu calon mempelai putri bertindak sebagai penjual dawet, didampingi dan
dipayungi oleh bapak calon mempelai putri, sambil mengucapkan :
"Laris...laris". 'Jual dawet' ini dilakukan dihalaman rumah.
Keluarga. kerabat adalah pembeli dengan pembayaran 'kreweng' (pecahan genteng)
Selanjutnya adalah 'potong tumpeng' dan 'dulangan'. Maknanya, 'ndulang'
(menyuapi) untuk yang terakhir kali bagi putri yang akan menikah. Dianjurkan
dengan melepas 'ayam dara' diperempatan jalan oleh petugas, serta mengikat
'ayam lancur' dikaki kursi mempelai
putri. Ini diartikan sebagai simbol melepas sang putri yang akan mengarungi
bahtera perkawinan.
Upacara berikutnya, 'menanam rikmo' mempelai putri dihalaman depan dan
'pasang tuwuhan' (daun-daunan dan buah-buahan tertentu). Maknanya adalah
'mendem sesuker', agar kedua mempelai dijatuhkan dari kendala yang menghadang
dan dapat meraih kebahagiaan.
Midodareni
Ini adalah malam terakhir bagi kedua calon mempelai sebagai bujang dan
dara sebelum melangsungkan pernikahan ke esokan harinya. Ada dua tahap upacara
di kediaman calon mempelai putri. Tahap pertama, upacara 'nyantrik',
untuk meyakinkan bahwa calon mempelai
putra akan hadir pada upacara pernikahan yang waktunya sudah ditetapkan.
Kedatangan calon mempelai putra diantar oleh wakil orangtua, para sepuh,
keluarga serta kerabat untuk menghadap calon mertua.
Tahap kedua, memastikan bahwa keluarga calon mempelai putri sudah siap
melaksanakan prosesi pernikahan dan upacara 'panggih' pada esok harinya. Pada
malam tersebut, calon mempelai putri sudah dirias sebagaimana layaknya. Setelah
menerima doa restu dari para hadirin, calon mempelai putri diantar kembali
masuk ke dalam kamar pengantin, beristirahat buat persiapan upacara esok hari.
Sementara para pni sepuh, keluarga dan kerabat bisa melakukan 'lek-lekan' atau
'tuguran', dimaksudkan untuk mendapat rahmat Tuhan agar seluruh rangkaian
upacara berjalan lancar dan selamat.
Pernikahan
Pernikahan, merupakan upacara puncak yang dilakukan menurut keyakinan
agama si calon mempelai. Bagi pemeluk Islam, pernikahan bisa dilangsungkan di
masjid atau di kediaman calon mempelai putri. Bagi pemeluk Kristen dan Katolik,
pernikahan bisa dilangsungkan di gereja.
Ketiga pernikahan berlangsung, mempelai putra tidak diperkenankan
memakai keris. Setelah upacara pernikahan selesai, barulah dilangsungkan
upacara adat, yakni upacara 'panggih' atau 'temu'.
Panggih (Temu)
Sudah menjadi tradisi, prosesi ini berurutan secara tetap, tapi
dimungkinkan hanya dengan penambahan variasi sesuai kekhasan daerah di Jawa
Tengah. Diawali dengan kedatangan rombongan mempelai putra yang membawa
'sanggan', berisi 'gedang ayu suruh ayu', melambangkan keinginan untuk selamat
atau 'sedya rahayu'. sanggan tersebut diserahkan kepada ibu mertua sebagai
penebus.
Upacara dilanjutkan dengan penukaran 'kembang mayang'. Konon, segala
peristiwa yang menyangkut suatu formalitas peresmian ditengah masyarakat, perlu
kesaksian. Fungsi kembang mayang, konon sebagai saksi dan sebagai penjaga serta
penangkal (tolak bala). Setelah berlangsungnya upacara, kembang mayang tersebut
ditaruh di perempatan jalan, yang bermakna bahwa setiap orang yang melewati jalan itu, menjadi
tahu bahwa di daerah itu baru saja berlangsung upacara perkawinan. 'Panggih'
atau 'temu' adalah dipertemukannya mempelai putri dan mempelai putra.
Balangan gantal/ Sirih
Mempelai putri dan mempelai putra dibimbing menuju 'titik panggih'.
Pada jarak lebih kurang lima langkah, masing-masing mempelai saling melontarkan
sirih atau gantal yang telah disiapkan.Arah lemparan mempelai putra diarahkan
ke dada mempelai putri, sedangkan mempelai putri mengarahkannya ke paha
mempelai putra. Ini sebagai lambang cinta kasih suami terhadap istrinya, dan si
istri pun menunjukan baktinya kepada sang suami.
Wijik
Mempelai putra menginjak telur ayam hingga pecah. Lalu mempelai putri
membasuh kaki mempelai putra dengan air kembang setaman, yang kemudian
dikeringkan dengan handuk. Prosesi ini malambangkan kesetiaan istri kepada
suami. Yakni, istri selalu berbakti dengan sengan hati dan bisa memaafkan segala
hal yang kurang baik yang dilakukan suami. Setelah wijik dilanjutkan dengan
'pageran', maknanya agar suami bisa betah di rumah. Lalu diteruskan dengan
sembah sungkem mempelai putri kepada mempelai putra.
Pupuk
Ibu mempelai putri mengusap ubun-ubun mempelai putra sebanyak tiga kali
dengan air kembang setaman. Ini sebagai lambang penerimaan secara ikhlas
terhadap menantunya sebagai suami dari putrinya.
Sinduran/ Binayang
Prosesi ini menyampirkan kain sindur yang berwarna merah ke pundak
kedua mempelai (memperlai putra di sebelah kanan) oleh bapak dan ibu mempelai
putri. Saat berjalan perlaham-lahan menuju pelaminan dengan iringan gending,
Paling depan di awali bapak mempelai putri mengiringi dari belakang dengan memegangi
kedua ujung sindur. Prosesi ini menggambarkan betapa kedua mempelai telah
diterima keluarga besar secara utuh, penuh kasih sayang tanpa ada perbedaan
anatara anak kandung dan menantu.
Bobot Timbang
Kedua mempelai duduk dipangkuan bapak mempelai putri. Mempelai putri
berada dipaha sebelah kiri, mempelai putra dipaha sebelah kanan. Upacara ini
disertai dialog antara ibu dan bapak mempelai putri. "Abot endi
bapakne?" ("Berat yang mana, Pak) kata sang ibu. "Podo, podo
abote," ("Sama beratnya") sahut sang bapak. Makna dari upacara
ini adalah kasih sayang orangtua terhadap anak dan menantu sama besar dan
beratnya.
Guno Koyo - Kacar-kucur
Pemberian 'guno koyo' atau 'kacar-kucur' ini melambangkan pemberian
nafkah yang pertama kali dari suami kepada istri. Yakni berupa : kacang tolo
merah, keledai hitam, beras putih, beras kuning dan kembang telon ditaruh
didalam 'klasa bongko' oleh mempelai putra yang dituangkan ke pangkuan mempelai
putri. Di pangkuan mempelai putri sudah disiapkan serbet atau sapu tangan yang
besar. Lalu guno koyo dan kacar-kucur dibungkus oleh mempelai putri dan
disimpan.