Jumat, 07 November 2014

UPACARA PERNIKAHAN ADAT JAWA



Adat pernikahan Jawa, tampak pada foto pengantin pernikahan mengenakan pakaian adat Jawa.

Penulis ada pada resepsi pernikahan tersebut tepatnya berdiri di sebelah kanan pengantin urutan yang ke 4 , kebetulan pengantin laki laki adalah teman/abg saya.
Tempat pernikahan : Jogjakarta 22 juni 2014


 UPACARA PERNIKAHAN ADAT JAWA



Upacara perkawinan adat pengantin Jawa sebenarnya bersumber dari tradisi keraton. Bersamaan dengan itu lahir pula seni tata rias pengantin dan model busana pengantin yang aneka ragam. Seiring perkembangan zaman, adat istiadat perkawinan tersebut, lambat laun bergerak keluar tembok keraton. Sekalipun sudah dianggap milik masyarakat, tapi masih  banyak calon pengantin yang ragu-ragu memakai busana pengantin basahan (bahu terbuka) yang konon hanya diperkenankan bagi mereka yang berkerabat dengan keraton.
Pada dasarnya banyak persamaan yang menyangkut upacara perkawinan maupun tata rias serta busana kebesaran yang dipakai keraton Yogyakarta, Surakarta dan mengkunegara. Perbedaan yang ada bisa dikatakan merupakan identitas masing-masing yang menonjolkan ciri khusus, dan itu justru memperkaya khasanah budaya bangsa kita. Bertolak dari kenyataan tersebut, sudah sering diselenggarakan sarahsehan yang berkenan dengan adat istiadat perkawinan oleh kerabat keraton, agar masyarakat merasa mantap mendandani calon pengantin dengan gaya keraton, sekaligus agar tidak terjadi kekeliruan dalam penerapannya.
Rangkaian upacara adat Pengantin Jawa sebagai berikut :

Serah-Serahan
Setelah dicapai kata sepakat oleh kedua belah pihak orang tua tentang perjodohan putra-putrinya, maka dilakukanlah 'serah-serahan' atau disebut juga 'pasoj tukon'. Dalam kesempatan ini pihak keluarga calon mempelai putra menyerahkan barang-barang tertntu kepada calon mempelai putri sebagai 'peningset', artinya tanda pengikat. Umumnya berupa pakaian lengkap, sejumlah uang, dan adakalanya disertai cincin emas buat keperluan 'tukar cincin'.

Pingitan
Saat-saat menjelang perkawinan, bagi calon mempelai putri dilakukan 'pingitan' atau 'sengkeran' selama lima hari, yang ada pada perkembangan selanjutnya hanya cukup tiga hari saja. Selama itu calon mempelai putri dilarang keluar rumah dan tidak boleh bertemu dengan calon  mempelai putra. Seluruh tubuh pengantin putri dilulur dengan ramu-ramuan, dan dianjurkan pula berpuasa. Tujuannya agar pada saat jadi pengantin nanti, mempelai putri tampil cantik sehingga membuat pangling orang yang menyaksikannya.

Pasang Bleketepe/ Tarup
Upacara pasang 'tarup' diawalkan dengan pemasangan 'bleketepe' (anyaman daun kelapa) yang dilakukan oleh orangtua calon mempelai putri, yang ditandai pula dengan pengadaan  sesajen. Tarup adalah bangunan darurat yang dipakai selama upacara berlangsung. Pemasangannya memiliki persyaratan khusus yang mengandung makna religius, agar rangkaian upacara berlangsung dengan selamat tanpa adanya hambatan. Hiasan tarup, terdiri dari daun-daunan dan buah-buahan yang disebut 'tetuwuhan' yang  memiliki nilai-nilai simbolik.

Siraman
Makna upacara ini, secara simbolis merupakan persiapan dan pembersihan diri lahir batin kedua calon mempelai yang dilakukan dirumah masing-masing. Juga merupakan media permohonan doa restu dari para pinisepuh. Peralatan yang dibutuhkan, kembang setaman, gayung, air yang diambil dari 7 sumur, kendi dan bokor.
Orangtua calon mempelai putri mengambil air dari 7 sumur, lalu dituangkan ke wadah kembang setaman. Orangtua calon mempelai putri mengambil air 7 gayung untuk diserahkan kepada panitia yang akan mengantarnya ke kediaman calon mempelai putra. Upacara ini dimulai dengan sungkeman kepada orangtua calon pengantin serta para pini sepuh.
Siraman dilakukan pertama kali oleh orangtua calon pengantin, dilanjutkan oleh para pinih sepuh, dan terakhir oleh ibu calon mempelai mempelai putri, menggunakan kendi yang kenudian dipecahkan ke lantai sembari mengucapkan, "Saiki wis pecah pamore" ("Sekarang sudah pecah pamornya").

Paes/ Ngerik
Setelah siraman, dilakukan upacara ini, yakni sebagai lambang upaya memperindah diri secara lahir dan batin. 'Paes' (Rias)nya baru pada tahap 'ngalub-alubi' (pendahuluan), untuk memudahkan paes selengkapnya pada saat akan dilaksanakan temu. Ini dilakukan dikamar calon mempelai putri, ditunggui oleh para ibu pini sepuh.
Sembari menyaksikan paes, para ibu memberikan restu serta memanjatkan do'a agar dalam upacara pernikahan nanti berjalan lancar dan khidmat. Dan semoga kedua mempelai nanti saat berkeluarga dan menjalani kehidupan dapat rukun 'mimi lan mintuno', dilimpahi keturunan dan rezeki.

Dodol Dawet
Prosesi ini melambangkan agar dalam upacara  pernikahan yang akan dilangsungkan, diknjungi para tamu yang melimpah bagai cendol dawet yang laris terjual. dalam upacara ini, ibu calon mempelai putri bertindak sebagai penjual dawet, didampingi dan dipayungi oleh bapak calon mempelai putri, sambil mengucapkan : "Laris...laris". 'Jual dawet' ini dilakukan dihalaman rumah. Keluarga. kerabat adalah pembeli dengan pembayaran 'kreweng' (pecahan genteng)
Selanjutnya adalah 'potong tumpeng' dan 'dulangan'. Maknanya, 'ndulang' (menyuapi) untuk yang terakhir kali bagi putri yang akan menikah. Dianjurkan dengan melepas 'ayam dara' diperempatan jalan oleh petugas, serta mengikat 'ayam lancur'  dikaki kursi mempelai putri. Ini diartikan sebagai simbol melepas sang putri yang akan mengarungi bahtera perkawinan.
Upacara berikutnya, 'menanam rikmo' mempelai putri dihalaman depan dan 'pasang tuwuhan' (daun-daunan dan buah-buahan tertentu). Maknanya adalah 'mendem sesuker', agar kedua mempelai dijatuhkan dari kendala yang menghadang dan dapat meraih kebahagiaan.

Midodareni
Ini adalah malam terakhir bagi kedua calon mempelai sebagai bujang dan dara sebelum melangsungkan pernikahan ke esokan harinya. Ada dua tahap upacara di kediaman  calon mempelai  putri. Tahap pertama, upacara 'nyantrik', untuk  meyakinkan bahwa calon mempelai putra akan hadir pada upacara pernikahan yang waktunya sudah ditetapkan. Kedatangan calon mempelai putra diantar oleh wakil orangtua, para sepuh, keluarga serta kerabat untuk menghadap calon mertua.
Tahap kedua, memastikan bahwa keluarga calon mempelai putri sudah siap melaksanakan prosesi pernikahan dan upacara 'panggih' pada esok harinya. Pada malam tersebut, calon mempelai putri sudah dirias sebagaimana layaknya. Setelah menerima doa restu dari para hadirin, calon mempelai putri diantar kembali masuk ke dalam kamar pengantin, beristirahat buat persiapan upacara esok hari. Sementara para pni sepuh, keluarga dan kerabat bisa melakukan 'lek-lekan' atau 'tuguran', dimaksudkan untuk mendapat rahmat Tuhan agar seluruh rangkaian upacara berjalan lancar dan selamat.

Pernikahan
Pernikahan, merupakan upacara puncak yang dilakukan menurut keyakinan agama si calon mempelai. Bagi pemeluk Islam, pernikahan bisa dilangsungkan di masjid atau di kediaman calon mempelai putri. Bagi pemeluk Kristen dan Katolik, pernikahan bisa dilangsungkan di gereja.
Ketiga pernikahan berlangsung, mempelai putra tidak diperkenankan memakai keris. Setelah upacara pernikahan selesai, barulah dilangsungkan upacara adat, yakni upacara 'panggih' atau 'temu'.

Panggih (Temu)
Sudah menjadi tradisi, prosesi ini berurutan secara tetap, tapi dimungkinkan hanya dengan penambahan variasi sesuai kekhasan daerah di Jawa Tengah. Diawali dengan kedatangan rombongan mempelai putra yang membawa 'sanggan', berisi 'gedang ayu suruh ayu', melambangkan keinginan untuk selamat atau 'sedya rahayu'. sanggan tersebut diserahkan kepada ibu mertua sebagai penebus.
Upacara dilanjutkan dengan penukaran 'kembang mayang'. Konon, segala peristiwa yang menyangkut suatu formalitas peresmian ditengah masyarakat, perlu kesaksian. Fungsi kembang mayang, konon sebagai saksi dan sebagai penjaga serta penangkal (tolak bala). Setelah berlangsungnya upacara, kembang mayang tersebut ditaruh di perempatan jalan, yang bermakna bahwa  setiap orang yang melewati jalan itu, menjadi tahu bahwa di daerah itu baru saja berlangsung upacara perkawinan. 'Panggih' atau 'temu' adalah dipertemukannya mempelai putri dan mempelai putra.

Balangan gantal/ Sirih
Mempelai putri dan mempelai putra dibimbing menuju 'titik panggih'. Pada jarak lebih kurang lima langkah, masing-masing mempelai saling melontarkan sirih atau gantal yang telah disiapkan.Arah lemparan mempelai putra diarahkan ke dada mempelai putri, sedangkan mempelai putri mengarahkannya ke paha mempelai putra. Ini sebagai lambang cinta kasih suami terhadap istrinya, dan si istri pun menunjukan baktinya kepada sang suami.

Wijik
Mempelai putra menginjak telur ayam hingga pecah. Lalu mempelai putri membasuh kaki mempelai putra dengan air kembang setaman, yang kemudian dikeringkan dengan handuk. Prosesi ini malambangkan kesetiaan istri kepada suami. Yakni, istri selalu berbakti dengan sengan hati dan bisa memaafkan segala hal yang kurang baik yang dilakukan suami. Setelah wijik dilanjutkan dengan 'pageran', maknanya agar suami bisa betah di rumah. Lalu diteruskan dengan sembah sungkem mempelai putri kepada mempelai putra.

Pupuk
Ibu mempelai putri mengusap ubun-ubun mempelai putra sebanyak tiga kali dengan air kembang setaman. Ini sebagai lambang penerimaan secara ikhlas terhadap menantunya sebagai suami dari putrinya.

Sinduran/ Binayang
Prosesi ini menyampirkan kain sindur yang berwarna merah ke pundak kedua mempelai (memperlai putra di sebelah kanan) oleh bapak dan ibu mempelai putri. Saat berjalan perlaham-lahan menuju pelaminan dengan iringan gending, Paling depan di awali bapak mempelai putri mengiringi dari belakang dengan memegangi kedua ujung sindur. Prosesi ini menggambarkan betapa kedua mempelai telah diterima keluarga besar secara utuh, penuh kasih sayang tanpa ada perbedaan anatara anak kandung dan menantu.

Bobot Timbang
Kedua mempelai duduk dipangkuan bapak mempelai putri. Mempelai putri berada dipaha sebelah kiri, mempelai putra dipaha sebelah kanan. Upacara ini disertai dialog antara ibu dan bapak mempelai putri. "Abot endi bapakne?" ("Berat yang mana, Pak) kata sang ibu. "Podo, podo abote," ("Sama beratnya") sahut sang bapak. Makna dari upacara ini adalah kasih sayang orangtua terhadap anak dan menantu sama besar dan beratnya.

Guno Koyo - Kacar-kucur
Pemberian 'guno koyo' atau 'kacar-kucur' ini melambangkan pemberian nafkah yang pertama kali dari suami kepada istri. Yakni berupa : kacang tolo merah, keledai hitam, beras putih, beras kuning dan kembang telon ditaruh didalam 'klasa bongko' oleh mempelai putra yang dituangkan ke pangkuan mempelai putri. Di pangkuan mempelai putri sudah disiapkan serbet atau sapu tangan yang besar. Lalu guno koyo dan kacar-kucur dibungkus oleh mempelai putri dan disimpan.









Kamis, 23 Oktober 2014

ARTIKEL MASALAH MASALAH SOSIAL DI LINGKUNGAN MASYARAKAT

Masalah Masalah Sosial di Lingkungan Masyarakat

Ditinjau dari paradigma ilmu-ilmu sosial, pengertian masalah sosial masih lazim digunakan untuk menunjuk suatu masalah yang tumbuh atau berkembang dalam kehidupan komunitas, di mana masalah itu dianggap kurang atau bahkan tidak sesuai dengan nilai nilai dan norma-norma sosial dalam komunitas tersebut. Tumbuh dan berkembangnya suatu masalah sosial sangat tergantung pada dinamika proses perkembangan komunitas itu sendiri. Ketika suatu komunitas mengalami proses perkembangan baik karena adanya faktor -faktor dari luar komunitas, karena adanya faktor -faktor dari dalam komunitas itu sendiri, maupun adanya proses deferensiasi struktural dan kultural.
Menurut Blumer (1971) dan Thompson (1988) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masalah sosial adalah suatu kondisi yang dirumuskan atau dinyatakan oleh suatu entitas yang berpengaruh yang mengancam nilai-nilai suatu masyarakat sehingga berdampak kepada sebagian besar anggota masyarakat kondisi itu diharapkan dapat diatasi melalui kegiatan bersama.

Masalah sosial dapat terjadi karena beberapa faktor :
1.      Faktor Ekonomi
Diantaranya kemiskinan, pengangguran
2.      Faktor Budaya
Diantaranya kenakalan remaja, perceraian
3.      Faktor Biologis
Diantaranya penyakit menular, keracunan makanan
4.      Faktor Psikologis
Diantaranya penyakit syaraf, aliran sesat

Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada. Yang dapat menjadi sumber masalah sosial yaitu seperti proses sosial dan bencana alam. Adanya masalah sosial dalam masyarakat ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan khusus seperti tokoh masyarakat, pemerintah, organisasi sosial, musyawarah masyarakat, dan lain sebagainya. Namun yang memutuskan bahwa sesuatu itu merupakan masalah sosial atau bukan, adalah masyarakat yang kemudian disosialisasikan melalui suatu entitas. Tingkat keparahan masalah sosial yang terjadi dapat diukur dengan membandingkan antara sesuatu yang ideal dengan realitas yang terjadi Untuk memudahkan mengamati masalah-masalah sosial, Stark (1975) membagi masalah sosial menjadi 3 macam yaitu :

1. Konflik dan kesenjangan, seperti : kemiskinan, kesenjangan, konflik antar kelompok, pelecehan seksual dan masalah lingkungan.
2. Perilaku menyimpang, seperti : kecanduan obat terlarang, gangguan mental, kejahatan, kenakalan remaja dan kekerasan pergaulan.
3. Perkembangan manusia, seperti : masalah keluarga, usia lanjut, kependudukan (seperti urbanisasi) dan kesehatan seksual.

Masalah masalah sosial yang terjadi di lingkungan daerah saya sendiri adalah

1.      Kemiskinan

Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masakini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern.

2.      Pencurian

Pencurian adalah pengambilan properti milik orang lain secara tidak sah tanpa seizin pemilik. Kata ini juga digunakan sebagai sebutan informal untuk sejumlah kejahatan terhadap properti orang lain, seperti perampokan rumah, penggelapan, larseni, penjarahan, perampokan, pencurian toko, penipuan

3.      Pelecehan seksual

Pengertian pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi atau mengarah kepada hal-hal seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan reaksi negatif seperti malu, marah, benci, tersinggung, dan sebagainya pada diri individu yang menjadi korban pelecehan tersebut.

4.      Kenakalan remaja

Kenakalan Remaja merupakan gejala patologis sosial pada remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial. Akibatnya, mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang.

5.      Masalah keluarga

Masalah keluarga biasanya mencakup masalah ekonomi keluarga, kekerasan dalam rumah tangga.

6.      Kekerasan pergaulan
Pergaulan bebas itu adalah salah satu bentuk perilaku menyimpang, yang mana “bebas” yang dimaksud adalah melewati batas-batas norma ketimuran yang ada. Masalah pergaulan bebas ini sering kita dengar baik di lingkungan maupun dari media massa. Remaja adalah individu labil yang emosinya rentan tidak terkontrol oleh pengendalian diri yang benar. Masalah keluarga, kekecewaan, pengetahuan yang minim, dan ajakan teman-teman yang bergaul bebas membuat makin berkurangnya potensi generasi muda Indonesia dalam kemajuan bangsa.