PEMUDA DAN SOSIALISASI
1.
INTERNALISASI BELAJAR DAN SPESIALISASI
Seminar
Tentang Remaja
ANOMI
DI KALANGAN REMAJA AKIBAT KEKABURAN NORMA
“Masa
remaja adalah masa transisi dan secara psikologis sangat problematis, masa ini
memungkinkan mereka berada dalam anomi (keadaan tanpa norma dan hukum, Red)
akibat kontradiksi norma maupun orientasi mendua. Dalam keadaan demikian,
seringkali muncul perilaku menyimpang atau kecendrungan melakukan pelanggaran.”
Demikian kutipan dari sebuah artikel yang dimuat pada harian Kompas, pada
tanggal 11 Februari 1985, dari sebuah seminar tentang remaja yang berjudul
“Anomi di Kalangan Remaja Akibat Kekaburan Norma”.
Orientasi Mendua
Sedangkan
mengenai orientasi mendua, menurut Dr. Malo, adalah orientasi yang bertumpu
pada harapan orang tua, masyarakat dan bangsa yang sering bertentangan dengan
keterikatan serta loyalitas terhadap peer (teman sebaya), apakah itu di
lingkungan belajar (sekolah) atau di luar sekolah. Kondisi bimbang yang dialami
para remaja menyebabkan mereka melahap semua isi informasi tanpa seleksi, dan
sengan demikian mereka adalah kelompok yang potensial yang mudah dipengaruhi
media massa, apapun bentuknya.
Keadaaan
bimbang akibat orientasi mendua, juga menyebabkan remaja nekad melakukan bunuh
diri. Hal ini antara lain akibat dari pertentangan nilai antara peer group
dengan pola asuh dan metode pendidikan. Untuk mengatasi hal ini ada beberapa
alternatif yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya adalah jalan keluar
yang diambil harus memperhitungkan peranan peer group, program pendidikan yang
melawan arus nilai peer yang juga memperhatikan waktu luang remaja. Kemudian
agar orang dewasa tidak selalu menganggap setiap youth culture adalah counter
culture, remaja harus diberikan kesempatan berkembang dan berargumentasi.
Sebagai alternatif lain pemecahan masalah tersebut adalah pertama, mengatifkan
kembali fungsi keluarga dan kembali pada pendidikan agama, karena hanya agama
yang bisa memberikan pegangan yang mantap. Kedua, menegakkan hukum akan
berpengaruh besar bagi remaja dalam proses pengukuhan identitas dirinya.
Peran Media Massa
Menurut
Zulkarimen Nasution, dewasa ini tersedia banyak pilihan isi informasi.
Dengan
demikian, kesan semakin permisifnya masyarakat juga tercermin pada isi media
yang beredar. Sementara masyarakat remaja yang merupakan periode peralihan dari
masa kanak-kanak menuju masa dewasa, ditandai beberapa ciri. Pertama, keinginan
memenuhi dan menyatakan identitas diri. Kedua, kemampuan melepas diri dari
ketergantungan orang tua. Ketiga, kebutuhan memperoleh akseptabilitas di tengah
sesama remaja.
Ciri-ciri
ini menyebabkan kecenderungan remaja melahap begitu saja arus informasi yang
serasi ·dengan selera dan keinginan mereka. Zulkarimen juga mengamati, para
tetua yang tadinya berfungsi sebagai penapis informasi atau pemberi rekomendasi
terhadap pesan-pesan yang diterima kini tidak berfungsi sebagai sediakala.
Sebagai
jalan ke luar ahli komunikasi ini melihat perlunya membekali remaja dengan
keterampilan berinformasi yang mencakup kemampuan menemukan, memilih,
menggunakan dan mengevaluasi informasi. Keterampilan ini ada baiknya disisipkan
lewat pelajaran yang ada di sekolah, sehingga secara builtin menjadi bagian
yang utuh dari keseluruhan prestasi belajar remaja di sekolah masing-masing.
Perlu Dikembangkan
Arif
Gosita SH yang berbicara mengenai kecenderungan-kecenderungan relasi orang tua
dan remaja (KROR) menyatakan KROR positif merupakan faktor pendukung hubungan
orang tua dan remaja yang edukatif. Sedang yang negatif merupakan faktor yang
tidak mendukung karena bersifat destruktif dan konfrontatif.
Mengembangkan
KROR yang positif, menurut Arif Gosita bukan hal yang mudah karena harus
menghadapi KROR negatif yang terus berkembang, akibat situasi dan kondisi
tertentu misalnya perubahan sosial.
Sementara
itu Suwarniayati Sartomo berpendapat, remaja sebagai individu dan masa
pancaroba mempunyai penilaian yang belum mendalam terhadap norma, etika dan agama
seperti halnya orang dewasa. Dari penelitian yang dilakukan diketahui, pada
umumnya responden merasa tidak sepenuhnya bertanggung jawab terhadap masalah
kenakalan remaja.
Dari
artikel di atas dapat disimpulkan bahwa masalah kepemudaan dapat ditinjau dari
2 asumsi yaitu :
1. Penghayatan
mengenai proses perkembangan bukan sebagai suatu kontinum yang sambung
menyambung tetapi fragmentaris, terpecah-pecah, dan setiap fragmen mempunyai
artinya sendiri-sendiri. Pemuda dibedakan dari anak dan orang tua dan masing-masing
fragmen itu mewakili nilai sendiri. Pendekatan klasik melihat potensi dan
romantisme pemuda sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, baik pemuda sebagai
perorangan maupun pemuda sebagai anggota kelompok dan anggota dari suatu
masyarakat. Demikian pula usaha- usaha untuk menyalurkan potensi pemuda
kerapkali bersifat fragmentaris, karena potensi itu dilihat bukan merupakan
sebagian dari aktivitas dalam wawasan kehidupan, tetapi tidak lebih sebagai
penyaluran tenaga dan berlebihan dari pemuda itu.
2. Posisi
pemuda dalam arah kehidupan itu sendiri. Tafsiran-tafsiran klasik didasarkan
pada anggapan bahwa kehidupan mempunyai pola yang banyak sedikitnya. Sudah
tentu dan ditentukan oleh mutu pemikiran yang diwakili oleh generasi tua yang
bersembunyi di balik tradisi. Dinamika pemuda tidak dilihat sebagai sebagian
dari dinamika atau lebih tepat sebagian dari dinamika wawasan kehidupan.
Dua asumsi yang mendasari pandangan
di atas, kiranya tidak akan memberi jawaban terhadap “kebinalan” pemuda dewasa
ini. Baik gagasan mengenai “wawasan kehidupan”, maupun konsep mengenai tata
kehidupan yang dinamis, akan menggugurkan pandangan klasik, yang menafsirkan
kelakuan pemuda dan hidup kepemudaan sebagai sesuatu yang abnormal.
Pemuda sebagai suatu subyek dalam
hidup, tentulah mempunyai nilai- nilai sendiri dalam mendukung dan menggerakkan
hidup bersama itu. Hal ini hanya bisa terjadi apabila tingkah laku pemuda itu
sendiri ditinjau sebagai interaksi terhadap lingkungannya dalam arti luas.
Penafsiran mengenai identifikasi pemuda seperti ini disebut sebagai pendekatan
ekosferis.
2.
PEMUDA DAN IDENTITAS
Pemuda adalah suatu generasi yang
dipundaknya terbebani bermacam- macam harapan, terutama dari generasi lainnya.
Hal ini dapat dimengerti karena pemuda diharapkan sebagai generasi penerus, generasi
yang akan melanjutkan perjuangan generasi sebelumnya, generasi yang harus
mengisi dan melangsungkan estafet pembangunan secara terus menerus.
Lebih menarik lagi pada generasi
ini mempunyai permasalahan- permasalahan yang sangat bervariasi, di mana jika
permasalahan ini tidak dapat diatasi secm·a proporsional maka pemuda akan
kehilangan fungsinya sebagai penerus pembangunan.
Proses sosialisasi generasi muda
adalah suatu proses yang sangat menentukan kemampuan diri pemuda untuk menselaraskan
diri di tengah- tengah kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu pada tahapan
pengembangan dan pembinaannya, melalui proses kematangan dirinya dan belajar
pada berbagai media sosialisasi yang ada di masyarakat, seorang pemuda harus
mampu menseleksi berbagai kemungkinan yang ada sehingga mampu mengendalikan
diri dalam hidupnya di tengah-tengah masyarakat, dan tetap mempunyai motivasi
sosial yang tinggi.
a.
Pembinaan
dan Pengembangan Generasi Muda
Pola Dasar Pembinaan
dan Pengembangan Generasi Muda disusun berlandaskan :
1) Landasan
idiil
Pancasila
2) Landasan
konstitusional
Undang-Undang Dasar 1945
3) Landasan
strategis
Garis-garis Besar Haluan Negara
4) Landasan
historis
Sumpah Pemuda Tahun 1928 dan Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945
5) Landasan
normatif
Etika, tata nilai dan tradisi luhur yang
hidup dalam masyarakat.
Motivasi dasar Pembinaan dan
Pengembangan Generasi Muda bertumpu pada strategi pencapaian tujuan nasional,
seperti telah terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV.
Dalam hal ini Pembinaan dan
Pengembangan Generasi Muda menyangkut dua pengertian pokok, yaitu :
a) Generasi
muda sebagai subyek pembinaan dan pengembangan adalah mereka yang telah
memiliki bekal-bekal dan kemampuan serta landasan untuk dapat mandiri dalam
keterlibatannya secara fungsional bersama potensi lainnya, guna men yelesaikan
masalah-masalah yang dihadapi bangsa dalam rangka kehidupan berbangsa dan
bernegara serta pembangunan nasional.
b) Generasi
muda sebagai obyek pembinaan dan pengembangan ialah mereka yang masih
memerlukan pembinaan dan pengembangan ke arah pertumbuhan potensi dan
kemampuan-kemampuannya ke tingkat yang optimal dan belum dapat bersikap mandiri
yang melibatkan secara fungsional.
b.
Masalah
dan Potensi Generasi Muda
1. Permasalahan
Generasi Muda.
Berbagai
permasalahan generasi muda yang muncul pada saat ini antara lain :
a) Dirasa
menurunnya jiwa idealisme, patriotisme dan nasionalisme di kalangan masyarakat
termasuk generasi muda.
b) Kekurangpastian
yang dial ami oleh generasi muda terhadap mas a depannya.
c) Belum
seimbangnya antara jumlah generasi muda dengan fasilitas pendidikan yang
tersedia, baik yang formal maupun non formal. Tingginya jumlah putus sekolah
yang diakibatkan oleh berbagai sebab yang bukan hanya merugikan generasi muda
sendiri, tetapi juga merugikan seluruh bangsa.
d) Kurangnya
lapangan kerja/kesempatan kerja serta tingginya tingkat pengangguran/setengah
pengangguran di kalangan generasi muda dan mengakibatkan berkurangnya
produktivitas nasional dan memperlambat kecepatan laju perkembangan pembangunan
nasional serta dapat menimbulkan berbagai problem sosial lainnya.
e) Kurangnya
gizi yang dapat menyebabkan hambatan bagi perkemrangan kecerdasan dan
pertumbuhan badan di kalangan generasi muda, hal ter;;ebut disebabkan oleh
rendahnya daya beli dan kurangtlya perhatian tentang gizi dan menu makanan
seimbang di kalangan masyarakat yang berpenghasilan rendah.
f) Masih
banyaknya perkawinan di bawah umur, terutama di kalangan masyarakat daerah pedesaan.
g) Pergaulan
bebas yang membahayakan sendi-sendi perkawinan dan kehidupan keluarga.
h) Meningkatnya
kenakalan remaja termasuk penyalahgunaan narkotika.
i)
Belum adanya peraturan perundangan yang
rnenyangkut generasi muda.
2. Potensi-potensi
Generasi Muda/Pemuda
Potensi-potensi
yang terdapat pada generasi muda perlu dikembangkan adalah :
a) Idealisme
dan daya kritis.
Secara sosiologis
generasi muda belum mapan dalam tatanan yang ada, maka ia dapat melihat
kekurangan-kekurangan dalam tatanan dan secara wajar mampu mencari gagasan
baru. Pengejawantahan idealisme dan daya kritis perlu untuk senantiasa
dilengkapi dengan landasan rasa tanggung jawab yang seimbang.
b) Dinamika
dan kreatifitas.
Adanya ldealisme pada
generasi muda, maka generasi muda memiliki potensi kedinamisan dan kreatifitas
yakni kemampuan dan kesediaan untuk mengadakan perubahan, pembaharuan dan
penyempurnaan kekurangan- kekurangan yang ada atau pun mengemukakan gagasan-gagasan/alternatif
yang baru sama sekali.
c) Keberanian
mengambil resiko.
Perubahan dan
pembaharuan termasuk pembangunan, mengandung resiko dapat meleset, terhambat
atau gagal. Namun mengambil resiko itu adalah perlu jika kemajuan ingin
diperoleh.
d) Optimis
dan kegairahan semangat.
Kegagalan tidak
menyebabkan generasi muda patah semangat. Optimisme dan kegairahan semangat
yang dimiliki generasi muda akan merupakan daya pendorong untuk mencoba maju
lagi.
e) Sikap
kemandirian dan disiplin murni.
Generasi muda memiliki
keinginan untuk selalu mandiri dalam sikap dan tindakannya. Sikap kemandirian
itu perlu dilengkapi dengan kesadaran disiplin murni pada dirinya, agar dengan
demikian mereka dapat menyadari batas-batas yang wajar dan memiliki tenggang
rasa.
f) Terdidik
Walaupun dengan
memperhitungkan faktor putus sekolah, secara menyeluruh baik dalam arti
kuantitatif maupun dalam arti kualitatif generasi muda secara relatif lebih
terpelajar karena lebih terbukanya kesempatan belajar dari generasi-generasi
pendahulunya.
g) Keanekaragaman
dalam persatuan dan kesatuan.
Keanekaragaman generasi
muda merupakan cermin dari keanekaragaman masyarakat kita. Keanekaragaman
tersebut dapat merupakan hambatan jika hal itu dihayati secara sempit dan ekslusif.
h) Patriotisme
dan nasionalisme.
Pemupukan rasa
kebanggaan. kecintaan dan turut serta memiliki bangsa dan negara di kalangan
generasi muda perlu lebih digalakkan, pada gilirannya akan mempertebal semangat
pengabdian dan kesiapannya untuk membela dan mempertahankan bangsa dan negara
dari segala bentuk ancaman. Dengan tekad dan semangat ini generasi muda perlu
dilibatkan dalam setiap usaha dan pemantapan ketahanan dan pertahanan nasional.
i)
Sikap kesatria.
Kemurnian idealisme,
keberanian, semangat pengabdian dan pengorbanan serta rasa tanggung jawab
sosial yang tinggi adalah unsur-unsur yang perlu dipupuk dan dikembangkan terus
menjadi sikap kesatria di kalangan generasi muda Indonesia sebagai pembela dan
penegak kebenaran dan keadilan bagi masyarakat dan bangsa.
j)
Kemampuan penguasaan ilmu dan teknologi.
Generasi muda dapat
berperan secara berdaya guna dalam rangka pengembangan ilmu dan teknologi bila
secara fungsional dapat dikembangkan sebagai transformator dan dinamisator
terhadap lingkungannya yang lebih terbelakang dalam ilmu dan pendidikan serta
penerapan teknologi, baik yang maju, madya maupun yang sederhana.
Sosialisasi adalah
proses yang membatu individu melalui belajar dan penyesuaian diri, bagaimana
bertindak dan berpikir agar ia dapat berperan dan berfungsi, baik sebagai
individu maupun sebagai anggota masyarakat. Proses sosialisasi sebenarnya
berawal dari dalam keluarga.
Tujuan pokok
sosialisasi adalah :
1. Individu
harus diberi ilmu pengetahuan (keterampilan) yang dibutuhkan bagi kehidupan
kelak di masyarakat.
2. Individu
harus mampu berkomunikasi secara efektif dan mengembangkan kemampuannya.
3. Pengendalian
fungsi-fungsi organik yang dipela jari melalui latihan-latihan mawas diri yang
tepat.
4. Bertingkah
laku selaras dengan norma atau tata nilai dan kepercayaan pokok yang ada pada
lembaga atau kelompok khususnya dan masyarakat umumnya.
Faktor lingkungan bagi pemuda dalam
proses sosialisasi memegang peranan penting, karena dalam proses sosialisasi
pemuda terus berlanjut dengan segala daya imitasi dan identitasnya. Pengalaman
demi pengalaman akan diperoleh pemuda dari lingkungan sekelilingnya.
Lebih-lebih pada masa peralihan dari masa muda menjelang dewasa, di mana sering
terjadi konflik nilai, wadah pembinaan harus bersifat fleksibel, mampu dan mengerti
dalam membina pemuda harus mematikan jiwa mudanya yang penuh dengan fasilitas
hidup.
3.
PERGURUAN DAN PENDIDIKAN
A. Mengembangkan
Potensi Generasi Muda
Pada
kenyataannya negara-negara sedang berkembang masih banyak mendapat kesulitan
untuk penyelenggaraan pengembangan tenaga usia muda melalui pendidikan.
Sehubungan dengan itu negara-negara sedang berkembang merasakan selalu
kekurangan tenaga terampil dalam mengisi lowonganlowongan pekerjaan tertentu
yang meminta tenaga kerja dengan keterampilan khusus. Kekurangan tenaga
terampil itu terasa manakala negara-negara sedang berkembang merencanakan dan
berambisi untuk mengembangkan dan memanfaatkan sumber-sumber alam yang mereka
miliki. Misalnya dalam eksplorasi dan eksploitasi sektor pertambangan, baik
yang berlokasi di darat maupun yang ada di lepas pantai.
Hal
yang sama juga dirasakan manakala negara-negara sedang berkembang berniat untuk
melaksanakan program-program industrialisasi yang menuntut tenaga-tenaga
terampil berkualitas tinggi.
Sebagaimana
upaya bangsa Indonesia untuk mengembangkan potensi tenaga generasi muda agar
menjadi inovator-inovator yang memiliki keterampilan dan skill berkualitas
tinggi. Pembinaan sedini mungkin difokuskan kepada angkatan muda pada tingkat
SLTP/SLTA, dengan cara penyelenggaraan lomba karya ilmiah tingkat nasional oleh
lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Minat generasi muda untuk mengikuti
lomba karya ilmiah dari berbagai cabang disiplin ilmu itu ternyata lebih banyak
dari perkiraan semula. Setiap tahun peserta lomba karya ilmiah remaja itu
semakin bertambah jumlahnya. Yang sangat menggembirakan, dalam usia yang belia
itu mereka telah mampu menghasilkan karya-karya ilmiah yang cukup membikin
kagum para cendikiawan tua.
B. Pendidikan
dan Perguruan Tinggi
Namun demikian tidak dapat
disangkal bahwa kualitas sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat
menentukan dalam proses pembangunan. Hal ini karena manusia bukan semata-mata
menjadi obyek pembangunan, tetapi sekaligus juga merupakan subyek pembangunan.
Sebagai subyek pembangunan maka setiap orang harus terlibat secara aktif dalam
proses pembangunan; sedangkan sebagai obyek, maka hasil pembangunan tersebut
harus bisa dinikmati oleh setiap orang.
Disinilah terletak arti penting
dari pendidikan sebagai upaya untuk terciptanya kualitas sumber daya manusia,
sebagai prasarat utama dalam pembangunan. Suatu bangsa akan berhasil dalam
pembangunannya secara `self propelling' dan tumbuh menjadi bangsa yang maju
apabila telah berhasil memenuhi minimum jumlah dan mutu (termasuk relevansi
dengan pembangunan) dalam pendidikan penduduknya. Modernisasi Jepang agaknya
merupakan contoh prototipe dalam hubungan ini.
Indonesia demikian pula menghadapi
kenyataan untuk melakukan usaha keras "mencerdaskan kehidupan bangsa".
Dewasa ini sudah sekitar 80% dari usia Sekolah Dasar (6-12) tahun dapat
ditampung oleh fasiltias pendidikan dasar yang ada. Persentase jumlah penduduk
yang masih buta huruf diperkirakan sebagai 40%.
Tetapi masalah pendidikan bukan
saja masalah pendidikan formal, tetapi pendidikan membentuk manusia-manusia
membangun. Dan untuk itu diperlukan kebijaksanaan terarah dan ,terpadu di dalam
menangani masalah pendidikan ini. Rendahnya produktivitas rata-rata penduduk,
banyaknya jumlah pencari kerja, "Under utilized population",
kurangnya semangat keWiraswastaan, merupakan hal-hal yang memerlukan perhatian
yang sungguhsungguh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar